Kamis, 18 November 2010

Misteri Angka-angka

Angka adalah hantu. Angka tak mau
Tampakkan wajahnya
Berjalan telungkup di pundak-pundak manusia
Menelusuri semak-semak kantor

Angka layaknya cita-cita
Mendapat fans dalam jumlah yang tidak sedikit
Jiwa berkoar memburu keagungan
Malah terperangkap di sangkar angka-angka

Angka berlarian dari kantong datang
Ke kantong pergi. meraih kenikmatan nisbi
Seribu manusia tergantung
Pada tiang-tiang berangka nol

Angka menjadi indera penglihat
Otak manusia gemetaran semu
terinfeksi oleh virus-virus hitam pekat

Angka bergulir
angka berjalan
memacu yang hidup
menemani yang mati

Juni 2010

Cahaya Di antara Hutan Berkabut -Kepada Agung Damar

Siapa yang mengira akan ada pahlawan
Dalam hutan bertemakan darah
Menyembur nanah-nanah kealiman
Dalam setiap detak sang penguasa

Mereka mendaki langit dengan ketabahan
Membekali diri dengan pengabdian
Lalu mereka berjalan dalam buritan
Memahat sejarah dengan darah perjuangan

Genting-genting bertarung dalam kancah suci
Menanti sang pemenang diantara mereka
Sementara pemegang mahkota berlihai=lihai
Menginjak pedih luka kaum bawahan
Meratap, menangis
Sebab buta ilmu membumbuhi otak mereka

Siapakah yang berani membunuh ilmu pengetahuan pagi ini?
Atau kami gantung kepalanya detik ini..!
Izinkan kami
Beri kami waktu
Memercikkan cahaya dalam hutan
Berkabut kejahilan

24 Februari 2010

Yalamlam*

Garis-garis langit wahana keabadian
Dalam torehan pahatan sejarah
Menanti misteri pertemuan
Selembar perasaan dalam naluri

Desir-desir pasir kenikmatan
Menjamin setiap torehan danbun
Meruntuhkan tiang–tiang al-fahsya’
Di atas tumpukan mizan

O,yalalam !
Tempat peraduan jutaan anak manusia
Bermusyafir menuju pintu tuhan
Pada suatu zaman
Yang telah dituliskan
Dengan darah qadar

Pasir-pasir tersenyum
Melihat gurun-gurun terombang-ambing
Jutaan kaki-kaki anak adam
Tumbuh dari tihamah yaman
Menuju pusar bumi yang dahsyat

Di sana…
Tempat huruf-huruf bergejolak
Tapi percuma..!
Hanya setara dan sama yang dirasa

Kicauan angin gurun menemani
Dalam perjalanan panjang
Peraduan nasib
Di rumah perdana

*suatu daerah di Negara yaman, sebagai salah satu tempat permulaan ihram

Hijrah Sang Pemimpi

Kuselami alam tak ada tepi kendali
Dimana tak kutemukan serat-serat
Batas kejumudan dalam naluri
Meninggalkan keluh kesah
Mencabik-cabik lembaran hatiku dalam

Teramat indah gubuk yang kutinggalkan dulu
Merajuk kata demi kata di bawah pohon mengkudu
Mengaduk rasa bahagia bersama langit memerah

Di dinding gubuk itu
Telah kulukiskan oretan sejarah dedaunan
Adun yang mampu merobek ranting-ranting pepohonan
Mencabut nafas berdenyutan

“tak ada pena yang mampu menodai oretan jejakku”

Nyawa yang kau tiupkan kepadaku
Selalu menghilang dan pudar
Saat datangnya raja kegelapan
Aku berusaha meronta sekuat tenaga
Mataku gelap tak melihat sebenang cahaya

Tak ada daya
Terbawa
Tak ada naluri
Dalam mimpi

Januari 2010

Sajadah Hati

Poin-poin perjanjian belum lama sirna dari daun telingaku
Bergetaran merekam sayup-sayup suara dari kedalaman
Masih adakah bekas terurat yang dapat kubaca?
Sementara peninggalan-peninggalannya diratakan dengan tanah

Non jauh di kedalaman sana
Terdapat pulau seribu, bersit dan gerak hidup berpola-pola
Di sanalah tuhan menanam bibit tingkah dan prilaku
Lalu dicocok tanam oleh hamba-hamba sahayanya

Cahaya tuhan mulai besemilir menerawang di tiap-tiap pintu nafas
Memonitoring segala yang ada dan mungkin ada

Aku dambakan
Kami impikan
Mengulurkan hati sebagai terompa perjalanan

Kini hatiku berselimut batu
Hitam pekat beraroma nanah
Jalanku gelap tak ada cahaya

Dengan sajadah hati
Kumulai segalanya dari putih
Memacu kuda secepat cahaya
Memburu alam yang tak mengenal kehancuran


April 2010

Senin, 05 April 2010

SAJAK KEGELIMANGAN SUFI -Kepada Utsman bin Affan

jagat raya bertaburan butir-butir kenikmatan
mematangkan segala bentuk pengabdian
menjadi kutu busuk
dari balik dedaunan yang rindang
dinar-dinar bertaburan
tak termuat dalam kantong kesederhanaan
para pengembara sudah mulai dahaga
tak mampu mendobrak pertahanan nafsu
tak tertandingi
dari bukit kesabaran
kau menyapa dunia
dengan uluran tanganmu
bergetarlah segala yang ada
mencicipi kenikmatan Ru’yah Ilahi
dari celah dunia
kau adalah kebun kesederhanaan
yang melahirkan buah-buah tangguh
memutuskan benang-benang hitam
mendekap, membelenggu
kau adalah perintis Tasawuf Ba’ast
melintasi jembatan penuh duri dan bara api
tak ada keluh kesah dari bibirmu
tak terbersit pilu di jantung hatimu
di sisimu, harta kehilangan mahkota
wanita kehilangan solekan
anak kehilangan aposan
di siang hari, lisanmu tak tersentuh
barang dengan setetes madu
kau biarkan jeritan-jeritan haru
yang lahir dari perut pertapaanmu
di malam hari, tak kau kosongkan jisimmu
melingkar di atas dipan
melainkan kau jadikan air matamu
sebagai pemadam api neraka kelak
kau jadikan kegelimangan menjadi jembatan
jurusan sorga firdaus, tiada kira
dan sajak ini adalah sajak penghormatan
untukmu, Utsman
janganlah khawatir
jejakmu belum punah dari dunia
berjanji seribu tahun lagi
di atas tumpukan dinar
kau bersujud, bertasawuf
menadah karomah Nasruz-zaman dari langit
dinar adalah sajadahmu
kesabaran adalah tongkatmu
dan kesederhanaan adalah rasokanmu
langit bumi bersaksi
di hadapan ilahi
tentang jejakmu…


09 Januari 2010

Sajak Hisab Jiwa

Karena kau menjanjikan cahaya
Di waktu aku mengarungi lekukan daun pepaya
Akan kuhempaskan bisikan mengharap
Terlunta-lunta menghilang dalam sekejap

Setiap apa yang kau oretkan di kertas putih
Menjadi bekas-bekas abadi dalam madani
Takkan ada pengkaburan angka-angka
Karena setiap langkahku telah merata

Jiwa-jiwaku bangkit di atas tumpukan dinar
Mengkilau menyilaukan indera penglihat
Menyamarkan jalan setapak menuju keabadian
Jalan-jalan yang merindukan musafir tuhan

o…gusti!
Bagaimana aku bisa terlepas dari ikatan birahi
Aku melawan, dia menyerangku lebih ganas lagi
Aku diam, dia mengrogotiku sampai aku lumpuh

Bagaimana nasibku kelak?
Tatkala catatan-catatan amal diumumkan
Sementara tubuh-tubuh banjir dengan peluh dingin
Jiwa-jiwa bergetaran
Menanti qadahya dari tuhan

Seandainya kutahu akan seperti ini
Takkan kubiarkan nafsu meracuni
Sawah-sawah suburku dahulu kala

Tak ada guna kata menyesal saat ini

Aku pasrah…!
Mendah hujan apa saja
Menghujam jiwa lemah ini

07 Februari 2010